Umar bin Abdul-Aziz ,bergelar Umar
II, lahir pada tahun 63 H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun) adalah khalifah Banii Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35
tahun) sampai 720 (selama 2–3
tahun). Tidak seperti khalifah Banii Umayyah sebelumnya, ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya, tetapi ditunjuk langsung,dimana ia merupakan
sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman. Ayahnya
adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari
Khalifah Abdul-Malik. Ibunya
adalah Ummu Asim binti Asim. Umar adalah cicit dari Khulafaur
Rasyidin keduaUmar bin Khattab, dimana umat Muslim
menghormatinya sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang paling dekat. Umar dilahirkan sekitar tahun 682. Beberapa tradisi menyatakan ia dilahirkan di Madinah,
sedangkan lainnya mengklaim ia lahir di Mesir. Umar dibesarkan di Madinah, di bawah
bimbingan Ibnu Umar, salah
seorang periwayat hadis terbanyak. Menurut tradisii Muslim Sunni,
silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa terkenal
yang terjadi pada masa kekuasaan Umar bin Khattab.
"Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar
daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak
perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.
Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya
terlihat banyak sebelum terbit matahari”
Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul
Mukminin melarang kita berbuat begini”
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul
Mukminin tahu”.
Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis
itu.
Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal
pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.
Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut.
Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal
dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin
Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.
Umar dibesarkan di Madinah, di bawah
bimbingan Ibnu Umar, salah
seorang periwayat hadis terbanyak. Ia
tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian ia
dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah
mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat pada tahun 706sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid
I Tidak
seperti sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar membentuk sebuah dewan
yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Masa di
Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana keluhan-keluhan resmi ke
Damaskus berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah,
sebagai tambahan banyak orang yang berimigrasi ke Madinah dari Iraq,
mencari perlindungan dari gubernur mereka yang kejam, Al-Hajjaj bin Yusuf. Hal tersebut menyebabkan
kemarahan Al-Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I untuk memberhentikan Umar.
al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan memberhentikan Umar dari
jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki reputasi yang tinggi di
Kekhalifahan Islam pada masa itu.
Pada
era Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial
untuk memperluas area di sekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut
direnovasi. Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk
ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka
yang mencucurkan air mata. Berkata Said Al Musayyib: "Sungguh aku berharap agar
rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam
yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau
yang sederhana"
Umar tetap tinggal di Madinah selama masa sisa
pemerintahan al-Walid I dan kemudian dilanjutkan oleh saudara al-Walid, Sulaiman. Sulaiman, yang juga merupakan sepupu Umar selalu mengagumi Umar, dan
menolak untuk menunjuk saudara kandung dan anaknya sendiri pada saat pemilihan
khalifah dan menunjuk Umar.
Sulaiman bin Abdul-Malik merupakan sepupu langsung dengan Umar. Mereka berdua sangat erat dan
selalu bersama. Pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul-Malik, dunia dinaungi pemerintahan Islam. Kekuasaan Bani Umayyah sangat kukuh dan stabil.
Sulaiman bertanya kepada Umar "Apakah yang kau lihat wahai Umar bin
Abdul-Aziz?" dengan niat agar dapat membakar semangat Umar ketika
melihat kekuatan pasukan yang telah dilatih.
Namun jawab Umar, "Aku sedang lihat dunia itu sedang makan antara
satu dengan yang lain, dan engkau adalah orang yang paling bertanggung jawab
dan akan ditanyakan oleh Allah mengenainya".
Khalifah Sulaiman berkata lagi "Engkau tidak kagumkah dengan
kehebatan pemerintahan kita ini?"
Balas Umar lagi, "Bahkan yang paling hebat dan mengagumkan adalah
orang yang mengenali Allah kemudian mendurhakai-Nya, mengenali setan kemudian
mengikutinya, mengenali dunia kemudian condong kepada dunia".
Jika Khalifah Sulaiman adalah pemimpin biasa, sudah barang tentu akan marah
dengan kata-kata Umar bin Abdul-Aziz, namun beliau menerima dengan hati terbuka
bahkan kagum dengan kata-kata itu.
Umar
menjadi khalifah menggantikan Sulaiman yang wafat pada tahun 716. Ia
di bai'at sebagai khalifah pada hari
Jumat setelah salat Jumat. Hari itu juga setelah ashar, rakyat dapat langsung
merasakan perubahan kebijakan khalifah baru ini. Khalifah Umar, masih satu
nasab dengan Khalifah kedua, Umar bin Khattab dari garis ibu.
Zaman
pemerintahannya berhasil memulihkan keadaan negaranya dan mengkondisikan
negaranya seperti saat 4 khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) memerintah. Kebijakannya dan
kesederhanaan hidupnya pun tak kalah dengan 4 khalifah pertama itu. Gajinya
selama menjadi khalifah hanya 2 dirham perhari[3] atau 60 dirham perbulan. Karena
itu banyak ahli sejarah menjuluki beliau dengan Khulafaur Rasyidin ke-5,
Khalifah Umar ini hanya memerintah selama tiga tahun kurang sedikit. Menurut
riwayat, beliau meninggal karena dibunuh (diracun) oleh pembantunya.
Menjelang
wafatnya Sulaiman, penasihat kerajaan bernama
Raja’ bin Haiwah menasihati beliau, "Wahai Amirul Mukminin, antara
perkara yang menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur dan menerima syafaat dari
Allah di akhirat kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam
khalifah yang adil, maka siapakah pilihanmu?". Jawab Khalifah
Sulaiman, "Aku melihat Umar Ibn Abdul Aziz".
Surat
wasiat diarahkan supaya ditulis nama Umar bin Abdul-Aziz sebagai penerus
kekhalifahan, tetapi dirahasiakan darai kalangan menteri dan keluarga. Sebelum
wafatnya Sulaiman, beliau memerintahkan agar para menteri dan para gubernur
berbai’ah dengan nama bakal khalifah yang tercantum dalam surat wasiat
tersebut.
Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya,
siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah
wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam
surat ini".
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki".
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki".
Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati
yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan
sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.
Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah
seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah
Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur. Pada saat itulah anaknya yang berusia 15
tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau
lakukan wahai Amirul Mukminin?".
Umar menjawab, "Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak
saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini".
"Jadi apa engkau akan buat wahai ayah?", Tanya anaknya
ingin tahu.
Umar membalas, "Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zuhur,
kemudian ayah akan keluar untuk salat bersama rakyat".
Apa pula kata anaknya apabila mengetahui ayahnya Amirul Mukminin yang baru
“Ayah, siapa pula yang menjamin ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti
sedangkan sekarang adalah tanggungjawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak
orang yang dizalimi” Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat
untuk tidur, beliau memanggil anaknya mendekati beliau, mengucup kedua belah
mata anaknya sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari
keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku”
Hari
kedua dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Dihujung
khutbahnya, beliau berkata “Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad saw dan
tiada kitab selepas al-Quran,
aku bukan penentu hukum malah aku pelaksana hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah
malah aku seorang yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling baik
dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya
dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang
yang paling banyak dosa di sisi Allah” Beliau kemudian duduk dan menangis
"Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku" sambung Umar Ibn Abdul Aziz.
Beliau
pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin
tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan
jawatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu
yang janda, anaknya ramai, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam
tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku
di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujjah-hujjah
mereka sebagai khalifah kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka
adalah Rasulullah saw’’ Isterinya juga turut mengalir air mata.
Umar
Ibn Abdul Aziz mula memeritah pada usia 36 tahun sepanjang tempoh 2 tahun 5
bulan 5 hari. Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada waktu inilah
dikatakan tiada siapa pun umat Islam yang layak menerima zakat sehingga harta
zakat yang menggunung itu terpaksa diiklankan kepada sesiapa yang tiada
pembiayaan untuk bernikah dan juga hal-hal lain.
Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali
mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim kepada Muawiyah I, dan yang ke-2 kepada Umar bin Abdul-Aziz. Surat kedua didokumentasikan
oleh Abd Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul
Farid. Potongan surat tersebut berbunyi.
Tauladan dari Seorang Umar bin
Abdul Aziz
Mengupas
sejarah reformasi ekonomi Umar bin Abdul Aziz, dan mengapa kita gagal?
Umar bin Abdul
Aziz muncul di persimpangan sejarah umat Islam di bawah kepemimpinan dinasti
Bani Umayyah. Pada penghujung abad pertama hijriyah, dinasti ini memasuki
usianya yang keenam puluh, atau dua pertiga dari usianya, dan telah mengalami
pembusukan internal yang serius. Umar sendiri adalah bagian dari dinasti ini,
hampir dalam segala hal. Walaupun pada dasarnya ia seorang ulama yang telah
menguasai seluruh ilmu ulama-ulama Madinah, tapi secara pribadi ia juga
merupakan simbol dari gaya hidup dinasti Bani Umayyah yang
korup, mewah dan boros.
Itu membuatnya
tidak cukup percaya diri untuk memimpin ketika keluarga kerajaan memintanya
menggantikan posisi Abdul Malik Bin Marwan setelah beliau
wafat. Bukan saja karena persoalan internal kerajaan yang kompleks, tapi juga
karena ia sendiri merupakan bagian dari persoalan tersebut. Ia adalah bagian
dari masa lalu. Tapi pilihan atas dirinya, bagi keluarga kerajaan, adalah
sebuah keharusan. Karena Umar adalah tokoh yang paling layak untuk posisi ini.
Ketika akhirnya
Umar menerima jabatan ini, ia mengatakan kepada seorang ulama yang duduk di
sampingnya, Al-Zuhri, “Aku benar-benar takut pada neraka.” Dan sebuah
rangkaian cerita kepahlawanan telah dimulai dari sini, dari ketakutan pada
neraka, saat beliau berumur 37 tahun, dan berakhir dua tahun lima bulan
kemudian, atau ketika beliau berumur 39 tahun, dengan sebuah fakta: reformasi
total telah dilaksanakan, keadilan telah ditegakkan dan kemakmuran telah
diraih.
Ulama-ulama
kita bahkan menyebut Umar Bin Abdul Aziz sebagai pembaharu abad
pertama hijriyah, bahkan juga disebut sebagai khulafa rasyidin kelima.
Mungkin
indikator kemakmuran yang ada ketika itu tidak akan pernah terulang kembali,
yaitu ketika para amil zakat berkeliling di perkampungan-perkampungan Afrika,
tapi mereka tidak menemukan seseorang pun yang mau menerima zakat.
Negara
benar-benar mengalami surplus, bahkan sampai ke tingkat dimana utang-utang
pribadi dan biaya pernikahan warga pun ditanggung oleh negara.
1. Memulai dari Diri Sendiri, Keluarga dan Istana
Umar bin Abdul
Aziz menyadari dengan baik bahwa ia adalah bagian dari masa lalu. Ia tidak
mungkin sanggup melakukan perbaikan dalam kehidupan negara yang luas kecuali
kalau ia berani memulainya dari dirinya sendiri, kemudian melanjutkannya pada
keluarga intinya dan selanjutnya pada keluarga istana yang lebih besar.
Maka langkah
pertama yang harus ia lakukan adalah membersihkan dirinya sendiri, keluarga dan
istana kerajaan. Dengan tekad itulah ia memulai sebuah reformasi besar yang
abadi dalam sejarah.
Begitu selesai
dilantik Umar segera memerintahkan mengembalikan seluruh harta pribadinya, baik
berupa uang maupun barang, ke kas negara, termasuk seluruh pakaiannya yang
mewah. Ia juga menolak tinggal di istana, ia tetap menetap di rumahnya. Pola
hidupnya berubah secara total, dari seorang pencinta dunia menjadi seorang
zahid yang hanya mencari kehidupan akhirat yang abadi. Sejak berkuasa ia tidak
pernah lagi tidur siang, mencicipi makanan enak. Akibatnya, badan yang tadinya
padat berisi dan kekar berubah menjadi kurus dan ceking.
Setelah selesai
dengan diri sendiri, ia melangkah kepada keluarga intinya. Ia memberikan dua
pilihan kepada isterinya, “Kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadimu
ke kas negara, atau kita harus bercerai.” Tapi istrinya, Fatimah Binti
Abdul Malik, memilih ikut bersama suaminya dalam kafilah reformasi tersebut.
Langkah itu juga ia lakukan dengan anak-anaknya.
Suatu saat
anak-anaknya memprotesnya karena sejak beliau menjadi khalifah mereka tidak
pernah lagi menikmati makanan-makanan enak dan lezat yang biasa mereka nikmati
sebelumnya. Tapi Umar justru menangis tersedu-sedu dan memberikan dua pilihan
kepada anak-anaknya, “Saya beri kalian makanan yang enak dan lezat tapi
kalian harus rela menjebloskan saya ke neraka, atau kalian bersabar dengan
makanan sederhana ini dan kita akan masuk surga bersama.”
Selanjutnya,
Umar melangkah ke istana dan keluarga istana. Ia memerintahkan menjual seluruh
barang-barang mewah yang ada di istana dan mengembalikan harganya ke kas
negara. Setelah itu ia mulai mencabut semua fasilitas kemewahan yang selama ini
diberikan ke keluarga istana, satu per satu dan perlahan-lahan.
Keluarga istana
melakukan protes keras, tapi Umar tetap tegar menghadapi mereka. Hingga suatu
saat, setelah gagalnya berbagai upaya keluarga istana menekan Umar, mereka
mengutus seorang bibi Umar menghadapnya. Boleh jadi Umar tegar menghadapi
tekanan, tapi ia mungkin bisa terenyuh menghadapi rengekan seorang perempuan.
Umar sudah mengetahui rencana itu begitu sang bibi memasuki rumahnya. Kemudian
Umar pun segera memerintahkan mengambil sebuah uang logam dan sekerat daging.
Beliau lalu membakar uang logam tersebut dan meletakkan daging diatasnya.
Daging itu
jelas terbakar jadi “sate”. Umar lantas berkata kepada sang bibi: “Apakah
bibi rela menyaksikan saya dibakar di neraka seperti daging ini hanya untuk
memuaskan keserakahan kalian? Berhentilah menekan atau merayu saya, sebab saya
tidak akan pernah mundur dari jalan reformasi ini.”
Langkah
pembersihan diri, keluarga dan istana ini telah meyakinkan publik akan kuat
political will untuk melakukan reformasi dalam kehidupan bernegara, khususnya
dalam pemberihan KKN. Sang pemimpin telah telah menunjukkan tekadnya, dan
memberikan keteladanan yang begitu menakjubkan.
2. Gerakan Penghematan
Langkah kedua
yang dilakukan Umar Bin Abdul Aziz adalah penghematan total dalam
penyelenggaraan negara.Langkah ini jauh lebih mudah dibanding langkah pertama,
karena pada dasarnya pemerintah telah menunjukkan kredibilitasnya di depan
publik melalui langkah pertama. Tapi dampaknya sangat luas dalam menyelesaikan
krisis ekonomi yang terjadi ketika itu.
Sumber
pemborosan dalam penyelenggaraan negara biasanya terletak pada struktur negara
yang tambun, birokrasi yang panjang, administrasi yang rumit. Tentu saja itu
disamping gaya hidup keseluruhan dari para penyelenggara negara. Setelah secara
pribadi beliau menunjukkan tekad untuk membersihkan KKN dan hidup sederhana,
maka beliau pun mulai membersihkan struktur negara dari pejabat korup.
Selanjutnya beliau merampingkan struktur negara, memangkas rantai birokrasi
yang panjang, menyederhanakan sistem administrasi. Dengan cara itu negara
menjadi sangat efisien dan efektif.
Simaklah sebuah
contoh bagaimana penyederhanaan sistem administrasi akan menciptakan
penghematan. Suatu saat gubernur Madinah mengirim surat kepada Umar Bin
Abdul Aziz meminta tambahan blangko surat untuk beberapa keperluan
administrasi kependudukan. Tapi beliau membalik surat itu dan menulis
jawabannya, “Kaum muslimin tidak perlu mengeluarkan harta mereka untuk
hal-hal yang tidak mereka perlukan, seperti blangko surat yang sekarang kamu
minta.”
3. Redistribusi Kekayaan Negara
Langkah ketiga
adalah melakukan redistribusi kekayaan negara secara adil.Dengan melakukan
restrukturisasi organisasi negara, pemangkasan birokrasi, penyederhanaan sistem
administrasi, pada dasarnya Umar telah menghemat belanja negara, dan pada waktu
yang sama, mensosialisasikan semangat bisnis dan kewirausahaan di tengah
masyarakat. Dengan cara begitu Umar memperbesar sumber-sumber pendapatan negara
melalui zakat, pajak dan jizyah.
Dalam konsep
distribusi zakat, penetapan delapan objek penerima zakat atau mustahiq,
sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah sebentuk subsidi langsung. Zakat
harus mempunyai dampak pemberdayaan kepada masyarakat yang berdaya beli rendah.
Sehingga dengan meningkatnya daya beli mereka, secara langsung zakat ikut
merangsang tumbuhnya demand atau permintaan dari masyarakat, yang selanjutnya
mendorong meningkatnya suplai. Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka
produksi juga akan ikut meningkat. Jadi, pola distribusi zakat bukan hanya
berdampak pada hilangnya kemiskinan absolut, tapi juga dapat menjadi faktor
stimulan bagi pertumbuhan ekonomi di tingkat makro.
Itulah yang
kemudian terjadi di masa Umar Bin Abdul Aziz. Jumlah pembayar zakat terus
meningkat, sementara jumlah penerima zakat terus berkurang, bahkan habis sama
sekali. Para amil zakat berkeliling di pelosok-pelosok Afrika untuk membagikan
zakat, tapi tak seorang pun yang mau menerima zakat. Artinya, para mustahiq
zakat benar-benar habis secara absolut. Sehingga negara mengalami surplus. Maka
redistribusi kekayaan negara selanjutnya diarahkan kepada subsidi pembayaran
utang-utang pribadi (swasta), dan subsidi sosial dalam bentuk pembiayaan
kebutuhan dasar yang sebenarnya tidak menjadi tanggungan negara, seperti biaya
perkawinan. Suatu saat akibat surplus yang berlebih, negara mengumumkan bahwa “negara
akan menanggung seluruh biaya pernikahan bagi setiap pemuda yang hendak menikah
di usia muda.”
Mengapa sejarah
tak berulang?
Sejarah selalu
hadir di depan kesadaran kita dengan potongan-potongan zaman yang cenderung
mirip dan terduplikasi. Pengulangan-pengulangan itu memungkinkan kita menemukan
persamaan-persamaan sejarah, sesuatu yang kemudian memungkinkan kita menyatakan
dengan yakin, bahwa sejarah manusia sesungguhnya diatur oleh sejumlah kaidah
yang bersifat permanen. Manusia, pada dasarnya, memiliki kebebasan yang luas
untuk memilih tindakan-tindakannya. Tetapi ia sama sekali tidak mempunya
kekuatan untuk menentukan akibat dari tindakan-rindakannya. Tetapi karena
kapasitas manusia sepanjang sejarah relatif sama saja, maka ruang kemampuan
aksinya juga pada akhirnya relatif sama.
Itulah sebab
yang memungkinkan terjadinya pengulangan-pengulangan tersebut. Tentu saja tetap
ada perbedaan-perbedaan waktu dan ruang yang relatif sederhana, yang menjadikan
sebuah zaman tampak unik ketika ia disandingkan dengan deretan zaman yang lain.
Itu
sebabnya Allah Subhaanahu wa ta’ala memerintahkan kita
menyusuri jalan waktu dan ruang, agar kita dapat merumuskan peta sejarah
manusia, untuk kemudian menemukan kaidah-kaidah permanen yang mengatur dan
mengendalikannya. Kaidah-kaidah permanen itu memiliki landasan kebenaran yang
kuat, karena ia ditemukan melalui suatu proses pembuktian empiris yang panjang.
Bukan hanya itu, kaidah-kaidah permanen itu sesungguhnya juga mengatur dan
mengendalikan kehidupan kita. Dengan begitu sejarah menjadi salah satu
referensi terpenting bagi kita, guna menata kehidupan kita saat ini dan esok.
Sejarah adalah
cermin yang baik, yang selalu mampu memberi kita inspirasi untuk menghadapi
masa-masa sulit dalam hidup kita. Seperti juga saat ini, ketika bangsa kita
sedang terpuruk dalam krisis multidimensi yang rumit dan kompleks,
berlarut-larut dan terasa begitu melelahkan. Ini mungkin saat yang tepat untuk
mencari sepotong masa dalam sejarah, dengan latar persoalan-persoalan yang
tampak mirip dengan apa yang kita hadapi, atau setidak-tidaknya pada sebagian
aspeknya, untuk kemudian menemukan kaidah permanen yang mengatur dan
mengendalikannya.
Masalah di
Ujung Abad
Ketika Rasulullah
Shalallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan sebuah ketetapan sejarah, bahwa
di ujung setiap putaran seratus tahun Allah Swt akan membangkitkan seorang
pembaharu yang akan akan mempebaharui kehidupan keagamaan umat ini. Ketetapan
itu menjadikan masa satu abad sebagai sebuah besaran waktu yang memungkinkan
terjadinya pengulangan-pengulangan masalah, rotasi pola persoalan-persoalan
hidup. Ketetapan itu juga menyatakan adanya fluktuasi dalam sejarah manusia,
masa pasang dan masa surut, masa naik dan masa turun. Dan titik terendah dari
masa penurunan itulah Allah Swt akan membangkitkan seorang
pembaharu yang menjadi lokomotif reformasi dalam kehidupan masyarakat.
Itulah yang
terjadi di ujung abad pertama hijriyah dalam sejarah Islam. Sekitar enam puluh
tahun sebelumnya, masa khulafa rasyidin telah berakhir dengan
syahidnya Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abi Sofyan yang kemudian
mendirikan dinasti Bani Umayyah di Damaskus, mengakhiri sistem khilafah dan
menggantinya dengan sistem kerajaan. Pemimpin tertinggi dalam masyarakat Islam
tidak lagi dipilih, tapi ditetapkan.
Perubahan pada
sistem politik ini berdampak pada perubahan perilaku politik para penguasa.
Secara perlahan mereka menjadi kelompok elit politik yang eksklusif, terbatas
pada jumlah tapi tidak terbatas pada kekuasaan, sedikit tapi sangat berkuasa.
Sistem kerajaan dengan berbagai perilaku politik yang menyertainya, biasanya
secara langsung menutup katup politik dalam masyarakat dimana kebebasan
berekspresi secara perlahan-lahan dibatasi, atau bahkan dicabut sama sekali.
Itu memungkinkan para penguasa menjadi tidak tersentuh oleh kritik dan tidak
terjangkau oleh sorot mata masyarakat. Tidak ada keterbukaan, tidak ada
transparansi.
Dalam keadaan
begitu para penguasa memiliki keleluasaan untuk melakukan apa saja yang mereka
ingin lakukan. Maka penyimpangan politik segera berlanjut dengan penyimpangan
ekonomi. Kezaliman dalam distribusi kekuasaan dengan segera diikuti oleh
kezaliman dalam distribusi kekayaan. Yang terjadi pada mulanya adalah
sentralisasi kekuasaan, tapi kemudian berlanjut ke sentralisasi ekonomi.
Keluarga kerajaan
menikmati sebagian besar kekayaan negara. Apa yang seharusnya menjadi hak-hak
rakyat hanya mungkin mereka peroleh berkat “kemurahan hati” pada
penguasa, bukan karena adanya sebuah sistem ekonomi yang memungkinkan rakyat
mengakses sumber-sumber kekayaan yang menjadi hak mereka.
Bukan hanya KKN
yang terjadi dalam keluarga kerajaan, tapi juga performen lain yang
menyertainya berupa gaya hidup mewah dan boros. Negara menjadi tidak efisien
akibat pemborosan tersebut. Dan pemborosan, kata ulama-ulama kita, adalah
indikator utama terjadinya kezaliman dalam distribusi kekayaan. Jadi ada
pemerintahan yang korup sekaligus zhalim, penuh KKN sekaligus mewah dan boros,
tidak bersih, tidak efisien dan tidak adil.
Itulah
persisnya apa yang terjadi pada dinasti Bani Umayyah. Berdiri pada tahun 41
hijriyah, dinasti Bani Umayyah berakhir sekitar 92 tahun kemudian, atau
tepatnya pada tahun 132 hijriyah. Tapi sejarah dinasti ini tidaklah gelap
seluruhnya. Dinasti ini juga mempunyai banyak catatan cemerlang yang ia sumbangkan
bagi kemajuan peradaban Islam. Salah satunya adalah cerita sukses yang tidak
terdapat atau tidak pernah terulang pada dinasti lain ketika seorang laki-laki
dari klan Bani Umayyah, dan merupakan cicit dariUmar Bin Khattab,
yaitu Umar Bin Abdul Aziz, muncul sebagai khalifah pada penghujung abad
pertama hijriyah.
Yang dilakukan
oleh Umar bin Abdul Aziz adalah mempertemukan keadilan dengan
kemakmuran. Ketika pemimpin yang saleh dan kuat dihadirkan di persimpangan
sejarah untuk menyelesaikan krisis sebuah umat dan bangsa. Dan itu bisa saja
terulang, kalau syarat dan kondisi yang sama juga terulang. Dan inilah masalah
kita, pengulangan sejarah itu tidak terjadi karena syaratnya tidak terpenuhi.